The Simplest & Meaningful Proposal.

Satu sabtu pagi di bulan Mei 2016, kami menikmati kopi manggarai yang pekat. Seingat saya, kue dan kompiang sisa liburan harpitnas sudah habis. Kopi yang pekat itu terasa ringan, mungkin karena segala hal yang harus diselesaikan telah selesai. Kami memutuskan untuk bersama. Lalu semua terasa ringan dan dari semua kemungkinan itu,  hal yang saya tahu pasti adalah kami pasti bersama.
Saya ingat, dia membaca The Jakarta Post pagi itu. Separuh koran menutupi wajahnya. Dia terlihat serius. Tepatnya, dia selalu serius. Saya sibuk dengan media sosial. Kami tenggelam dengan dunia masing-masing. Hening. Hanya suara seruput kopi. Kopinya sudah habis dan kopi saya hampir habis. Dia menutup korannya, saya menjauhkan handphone.
“Tambah kopi?” saya bertanya. Dia menggeleng sambil meminum kopi dari gelas saya.
“Ih, jan minum sa punya ka, nanti sap jodoh kaka ambil” saya menarik gelas kopi menjauh.
“Sepertinya kita harus menikah” tiba-tiba dia berkata. Dia serius.
“APA?”
“Kau tir mau ka?” dia kembali membuka korannya.
“Baik su”
Kami berpelukan. Lalu dia berbisik “tambah kopi ka…”

 

Leave a comment